Rabu, 06 Juni 2012

Pengantar Hukum Indonesia

 Pengertiaan Hukum
Hukum adalah rangkaian peraaturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai suatu anggota masyarakat, sedang satu-satunya tujuan hukum ialah mengadakan keselamatan, kebahagiaan, dan tata tertib dalam suatu masayarakat. Hukum berlaku universal, artinya diseluruh negara didunia pasti mempunyai hukumnya sendiri yang berbeda tiap-tiap negara. Hukum yang berlaku disuatu negara tertentu bagi masayarakat ataupun badan hukum tertentu pada waktu tertentu disebut hukum positif (ius constitutum). Sedangkan hukum yang dicita-citakan atau hukum yang berlaku pada masa yang akan datang disebut ius constituendum. Ius constitutum merupakan objek kajian ilmu hukum, sedangkan ius constituendum meriupakan objek kajia filsafat hukum.
            Tata hukum yang berlaku di Indonesia ada sejak kemerdekaan Republik Indonesia yang ada dalam teks proklamasi kemerdekaan, yakni : “ kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia” dan juga terdapat dalam teks pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada paragraf ke 4, yakni : “kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang meindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yag adil dan beradab, persatuan indonesia, da kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaaan dalam permusyawatan dan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Pernyataan dari keduanya mengandung makna bahwa Indonesia sebagai suatu negara yang berdaulat, dan tata hukum Indonesia sebagai bagian yang tertulis.
Peranan Proklamasi Kemerdekaan dan UUD 1945bagi Tata Hukum Indonesia
Tata hukum Indonesia baru ada sejak kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Hal tersebut dinyatakan dalam:
a.       Proklamasi Kemerdekaan, “ Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia”
b.      Pembukaan UUD 1945 paragraf tiga dan empat
“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan  didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan denga ini kemerdekaannya”. “ Kemudian daripada itu …. Disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia”.

UUD 1945 memuat ketentuan-ketentuan dasar dan merupakan rangka dari tata hukum Indonesia. Karena sampai saat ini belum banyak UU yang dihasilkan mka Aturan Peralihan pasal II masih mempunyai arti yang penting.
TAP MPR IV/ 1973/40/TAP NO IV/1978Tentang GBHN
Berdasarkan TAP MPR IV/ 1973/40/TAP NO IV/1978 tentang GBHN antara lain dikemukakan:
“Peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional, dengan antara lain mengadakan pembaharuan, kodifikasi secara unifikasi hukum dibidang-bidang tertentu dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum dalm masyarakat”
Jadi, dalam melakukan pembinaan hukum nasional untukmewujudkan hukum positif Indonesia antara lain dengan mengadakan pembaharuan hukum, kodifikasi hukum dan unifikasi hukum.
Tujuan PHI
Untuk mengetahui hukum yang berlaku di Indonesia saat ini/ hukum positif.
Fungsi PHI
a.       Sebagai mata kuliah dasar
b.      Sebagai pendukung pada mata kuliah lainnya.
c.       Memperkenalkan konsep-konsep generalisasi dan teori-teori hukumsecara umum yang diperlukan untuk aplikasinya.
d.      Rinkas tapi meliputi keseluruhan. 
Konsep Survei Udara
PHI menyajikan satu ringkasan bersipat menyeluruh tapi tidak mendalam.
Persamaan dan Perbedaan PHI dan PIH
Persamaan PHI dan PIH
-          Sama-sama merupakan mata kuliah dasar dalam mempelajari hukum.
-          PHI dan PIH sama-sama mempelajari tata hukum Indonesia.
Perbedaan PHI dan PIH
-          PHI berobjek pada hukum yang berlaku saat ini / hukum positif, sedangkan PIH aturan tentang hukum pada umumnya, tidak terbatas pada aturan hukum yang berlaku pada suatu tempat dan waktu tertentu.
-          Perbedaan istilah.
 Sejarah Hukum dan Politik Hukum Sebelum dan Sesudah Kemerdekaan
1.      Masa Vereenigde Oost Indische Compagnie( VOC) 1602-1779
VOC didirikan oleh para pedagang Belanda tahun 1602. Sebagai kompeni dagang, VOC diberi hak-hak istimewa (octrooi). Dengan hak tersebut VOC melakukan penjajahan di nusantara, aturan-aturan hukum yang dipaksakan bagi orang-orang pribumi yang merupakan hukum positif orang belanda didaerah perdagangan yang dijalankan diatas kapal dagang (konkordan)hukum Belanda Kuno disamping asas-asas hukum  Romawi.
Pada tahun 1610 Gubernur Jendral Pieter Both diberi wewenang oleh pengurus pusat VOC di Belanda untuk membuat peraturan dalam menyelesaikan perkara istimewa. Berlakunya peraturan tersebut diumumkan melalui plakat . Tahun 1642 plakat-plakat tersebut disusun dengan nama “Statuta van Batavia”. Pada tahun 1766 dihasilakan kumpulan plakat baru yang di beri nama “Nieuwe Bataviase Statuten” (Statuta Batavia Baru).    
2.      Masa Pemerintahan Belanda (1800-1942)
Raja Belanda saat itu menunjuk Dandels sebagai gubernur jendral. Dandels tidak mengganti aturan-aturan hukum yang berlaku dalam pergaulan hidup pribumi dengan memberlakukan aturan-aturan hukum Eropa. Namun dalam penetapannya hukum pribumi tetap berlaku dengan syarat tidak bertentagan dengan perintah yang diberikan. Pada tahun 1811 Daendels diganti oleh Jansens tapi tidak lama memerintah karena Nusantara dikuasai oleh Inggris. Pemerintah Inggris mengangkat Thomas Stamford Raffles menjadi Letnan Gubernur. Setelah Ingrris menyerahkan Nusantara kepada Belanda tata pemerintahannya mulai diatur dengan baik. Sejak saat itu, sejarah perundangundangan membagi tiga masa perundang-undangan yaitu:
a.       Masa Besluiten Regering 
Pada masa ini raja mempunyai kekuasaan tertinggi di daerah jajahan. Hanya raja yang berhak membuat dan mengeluarkan peraturan “Algemene Verordening”(peraturan pusat, peraturan pusat tersebut disebut “Koninklijk  Besluit” (Besluit Raja). Raja mengangkat komisaris jendral yang terdiri dari Elout,Buyskes, dan Van der Capellen untuk melaksanakan pemerintahan di kepulauan nusantara. Peraturan-peraturan yang berlaku bagi orang-orang Belanda sejak VOC tidak diganti karena menunggu rencana pengkodifikasian hukum nasional Belanda.
Yang dimaksud dengan kodifikasi yaitu pembukuan bahan-bahan hukum tertentu yang sejenis ke dalam suatu kitab Undang-undang secara sistematis dan lengkap.
Orang-orang bumiputera masih tetap menggunakan peradilan Inggris.
Tahun 1826 Gubernur Jendral Du Bus de Gesignes melaksanakan “Politik Agraria” yaitu para terhukum bumiputera dipekerjakan secara paksa. Kerja paksa ini dipertahankan oleh Gubernur Jendral Van den Bosch untuk melaksanakan Cultur Stelsel (1830).
Belanda membentuk komisi Undang-undang yang terdiri dari Mr. Scholten van Oud Haarlem sebagai ketua, Mr.I.Schneither, dan Mr.I.F.H van Nes sebagai anggota. Dengan macam-macam peraturan yang dihasilkan:
-          Reglement of de Rechterlijke Organisatie (RO) atau Peraturan Organisasi Pengadilan
-          Aglemene Bapalingen van Watgeving (AB) atau ketentuan umum perundang-undangan.
-          Burgerlijk Wetboek (BW) atau KUHS
-          Wetboek van Koophendel (WvK) atau KUHD
-          Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (RV) atau peraturan tentang Acara Perdata (AP).

Peraturan hukum yang telah dikodifikasikan diberlakukan sebagai hukum positif bagi orang-orang Hindia Belanda. Hukum positif sebagai suatu sistem hukum sangat dipengaruhi oleh politik hukum dan kesadaran  hukum masyarakat. Politik Hukum suatu negara biasanya dicantumkan dalam Undang-Undang Dasarnya dilaksanakan melalui dua segi yaitu dari bentuk dan corak hukum.
Bentuk Hukum terbagi dua yaitu Tertulis dan tidak tertulis. Dalam bentuk tertulis terbagi menjadi dua macam yaitu kodifikasi dan tidak dikodifikasi. Sedangkan corak hukum terbagi menjadi; Unifikasi (berlakunya satu sistem hukum bagi setiap orang dalam suatu negara), Dualistis ( berlakunya dua sistem hukum bagi dua kelompok sosial yang berbeda dalam suatu negara), Pluralistis (berlakunya beberapa sistem hukum bagi berbagai kelompok sosial yang berbeda dalam suatu negara).
Politik Hukum yang dijalankan oleh pemerintah Belanda dalam pasal 11 Aglemene Bepalingen van Watgving (AB). Pasal ini menyatakan, memuat perintah kepada hakim untuk memberlakukan hukum perdata Eropa bagi golongan Eropa dan hukum perdata Adat bagi golongan lain dalam menyelesaikan perkara.
Ketentuan yang menetapkan perbedaan golongan golongan tersebut terdapat dalam pasal 6-10. Yang hanya berdasarkan perbedaan agama. Dalam pasal tersebut dinyatakan:
-          Orang Eropa
-          Orang Bumiputera
-          Orang yang disamakan dengan orang Eropa
-          Orang yang disamakan dengan orang Bumiputera
Orang yang beragama Kristen selain orang Eropa disamakan dengan orang Eropa dan yang tidak beragama Kristen disamakan dengan orang Indonesia.
b.      Masa Regering Reglement
Pada masa ini terjadi pertentangan antara raja dan parlemen dengan kemenangan ditangan parlemen. Pertentangan ini menyebakan adanya perubahaan gondwet sehingga mengakibatkan terjadinya perubahaan terhadap pemerintahaan dan perundang-undangan jajahan Belanda di Indonesia.
Peraturan dasar mengenai  pemerintahan yang dibuat untuk kepentingan daerah jajahan berbentuk undang-undang yang disebut Regerings Reglemets (RR).
Politik hukum yang mengatur tentang pelaksanaan tata hukum pemerintah Hindia Belanda dicantumkan dalam pasal 75 RR. Pembagian peghuninya terbagi menjadi dua golongan yaitu yang menjajah dan yang dijajah. RR ini mulai berlaku tahun 1855, kemudian pada tahun 1920 diadakan perubahaan yang disebut dengan RR Baru (1 Januari 1920-1926). Politik hukumdalam pasal 75 RR Baru mengalami perubahan menjadi pendatang dan yang didatangi.
Penggolongan penduduknya dibagi menjadi tiga golongan yaitu:
-          Golongan Eropa
-          Golongan Bumiputera
-          Timur Asing
c.       Masa Indische Staatsregeling 1926-1942
Pada masa ini dibentuk Volksraad (Wakil Rakyat) yang mempunyai hak sebagai penasihat raja dan ikut membuat undang-undang.Regerings Reglement diganti menjadi “Indische Staatsregerling” . Is mulai berlaku pada tanggal 1 Januarin1926.
IS mencantumkan politik hukumnya dalam Pasal 131 yang seluruh isinya merupakan salinan dari Pasal 75 RR Baru.
Dalam Pasal 131 IS dinyatakan ada tiga golongan penduduk yaitu:
-          Golongan Eropa
-          Golongan Bumiputera
-          Golongan Timur Asing
Penghuni Hindia Belanda yang termasuk golongan-golongan itu ditetapkan dalam Pasal 163 IS yang dikutip dari pasal 109 RR Baru.
Tata Urutan Perundang-Undangan Menurut Sistem Hukum Belanda
-          Gondwet (Konstitusi) kerajaan Belanda.
-          Wet (UU) dikeluarkan oleh Raja dan Parlemen.
-           Koniklijke Besluit dibuat oleh raja.
-          Ordonantie dibuat oleh Gubernur Jendral bersama Dewan Hindia (Raad van Indie) dan DPR Hindia Belanda (Volksraad)
-          Regering Verordening (Peraturan Pemerintah) dibuat oleh Gubernur Jendral bersama Dewan Hindia.

Proses Pelaksanaan Politik Hukumu Pemerintah Penjajah Belanda
a.       Hukum yang berlaku bagi golongan Eropa
Aturan hukum yng berlaku berdasarkan 131 IS :
-          Hukum perdata materil berbentuk tertulis pada BW dan Wvk.
-          Hukum pidana materil ada pada WvS
-          Hukumacara perdata diatur dalam Reglement of de Burgerlijke Recht Verordering (Jawa dan Madura).
-          Hukum acara pidana diatur dalam reglement of de strafordering (Mulai berlaku: 1 Januari 1918)
Susunan Peradilan Jawa dan Madura:
1.      Resedentie Gerecht
2.      Raad van Justie
3.      Hooge Rechtshop
4.      Peradian luar Jawa dan Madura (Recht Reglement Buitengewesten).

b.      Hukum yang berlaku bagi golongan Indonesia
Aturan yang diatur dalam 131 IS/S/PS 75 RR (baru) 1 Januari 1920 terdiri dari:
- Hukum perdata materil : Hukum perdata ada dalam bentuk tidak tertulis.
- Hukum pidana materil : WvS sejak tahun 1918 berdasarkan S 1915 : 732
- Hukum acara perdata (Jawa dan Madura) : diatur dalam Inlands Reglement (IR).
- Hukum acar pidana (dijadikan satu buku dengan hukum acara perdata dimuat dalam HIR, berlaku berdasarkan S: 1941 tanggal 21-2-1941
Susunan peradlan:
1.      Distrik gerecht (kewedanaan)
2.      Regentschaps gerecht
3.      Lanraad (kabupaten dan kota-kota lainyang diperlukanadanya peradilan ini.
c.       Hukum yang berlaku bagi golongan Timur Asing
Berdasarka pasal 11 AB, mulai berlaku hukum perdata dan pidana adapt karena disamakan dengan orang Indonesia.
Melalui 1855: 79 (Jawa dan Madura) berlaku hukum perdata Eropa kecuali hukum keluarga dan waris tanpa wasiat.
Tahun 1917 untuk golongan Timur Asing Cina berlau seluruh hukum perdata Eropa setelah S 1855: 79 dicabut, juga berlaku untuk bukan Cina.
Hukum Pidan materil WvS sejak 1918
Hukum acara tidak diatur khusus kadang-kadang diguakan peradilan Eropa terkadang Bumiputera.
Susunan peradilan:
1.      Pengadila Swaprja
2.      Pengadila Agama
3.      Peradilan Militer.  
3.      Peraturan Pada Zaman Jepang
” untuk melaksanakan tata pemerintahan di Indonesia, pemerintahan Jepang menggunakan undang-undangnya yangdisebut “Gunseirei” melalui “Osamu Seirei”. Osamu Seirei mengatur segala hal yang diperlukan untuk melaksanakan pemerintahaan melalui peraturan pelaksana “Osamu Kanrei”. “Tomi Kenrei” adalah sebagainundang-undang darurat atau seperti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
Untuk mengisi kekosongan hukum, melalui  UU NO.1 tahun 1942 pasal 3 menyatakan bahwa berlakunya kembali semua peraturan perundangan Hindia Belanda selama tidak bertentangan dengan kekuasaan militer Jepang. Hukum yang berlaku saat itu adalah Indische Staatregeling(IS) Dengan demikian Pasal 131 IS sebagai politik hukum dan menegani penggolongan penduduk menurut Pasal 163 IS masih berlaku. Untuk golongn Eropa, golongan Timur Asing Cina, golongan Bumiputera, Timur Asing bukan Cina yang tunduk secara sukarela kepada hukum perdata Eropa tetap berlaku baginya BW dan WvK serta aturan yang tidak dikodifikasikan. Sementara bagi golongan Bumiputera dan golongan TimurAsing bukan Cina yang tidak tunduk secara sukarela kepada hukum perdata Eropa tetap berlaku aturan-aturan hukum perdata adatnya.

4.      Masa Indonesia Merdeka
Pada tanggal 18 Agustus 1945 berlaku UUD .  Dalam UUD 1945 yang terdiri dari 37 Pasal tidak mencantumkan politik hukum negara karean pada saat itu lembaga tertinggi negara belum menjalankan fungsinya dengan baik dan untuk mengisi kekosonan hukum maka Pasal II Aturan Peralihan menyatakan: “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, sebelum belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
Segala peraturan perundang-undangan yang dibuat pada zaman Hindia Belanda, zaman militer Jepang, zaan RI hingga sekarang berlaku seluruhnya di Indonesia selama tidak berentangan dengan UUD 1945 akan tetap berlaku selama belum dicabut, ditambah, atau diubah oleh ketentuan-ketentuan berdasarkan UUD 1945 yang sekarang berlaku di Negara Indonesia.

Politik hukumobjeknya ius contituendum.
Dasarhukum pemberlakuan untukgolongan Eropa, Bumiputera dan Timur Asing.
Fungsi :
            - Untuk mengisi kekosongan hukum
- Untuk menjembatani peraturan yang baru

1.      Pasal II AP UU 1945 sebelum amandemen.
Menjadi pasal I AP UUD 1945 Amandemen ke 3
2.      Asas konkordansi = Asas persamaan.
3.      Peraturan pemerintah No. 2  Tahun 1945.

Produk Nasional :
 - KUHP WvS > UU NO II 1946
- KUH pidana > UU NO 8 1981
- KUHAP/ HIR

Asas Tunduk Secara Sukarela kepada Burgerlijk Wetboek
Pengertian Penundukan Diri
Maksud dari penundukan diri dalam sistem hukum perdata di Indonesia adalah penundukan diri terhadap hukum perdata barat.
Dasar Hukum Penundukan Diri
Dasar hukum dari pemberlakuan penundukan diri yaitu Indische Staatsregeling Pasal 131 Junto Staatsblad 1917 Nomor 12. Indische Staatsregeling adalah peraturan dasar di zaman pemerintahan kolonial Hindia Belanda sebagai pengganti Reglement Regering.
Empat Jenis Penundukan Diri Menurut Indische Staatsregeling
Berdasarkan pasal 131 Indische Staatsregeling ayat 4 junto Staatsblad 1917 Nomor 12, penundukan diri secara sukarela kepada Burgerlijk Wetboek terdapat empat macam, yaitu;
  1. Penundukan diri sepenuhnya pada hukum perdata barat (Pasal 1 – 17)
  2. Penundukan diri sebagian pada hukum perdata barat (Pasal 18 – 25)
  3. Penundukan diri untuk perbuatan tertentu pada hukum perdata barat (Pasal 29)
  4. Penundukan diri diam-diam pada hukum perdata barat
Dampak Pemberlakuan Pasal 131 Indische Staatsregeling
Berdasarkan pasal 163 Indische Staatsregeling, penduduk Indonesia dibagi menjadi tiga golongan, yaitu:
  1. Golongan Eropa
  2. Golongan Timur Asing
  3. Golongan Bumi Putera
Pengelompokan yang demikian ini berimbas kepada bidang hukum yang berlaku bagi tiap-tiap kelompok. Sebagaimana diatur dalam Pasal 131 Indische Staatsregeling bahwa bagi golongan Eropa hukum yang berlaku adalah hukum yang berlaku di negeri Belanda. Adapun golongan Timur Asing berlaku hukumnya sendiri.
Selanjutnya bagi golongan Bumi Putera hukum yang berlaku adalah hukum adat. Jika kepentingan sosial menghendaki maka hukum Eropa dapat berlaku lintas golongan. Keberlakuan ini selanjutnya disebut sebagai penundukan diri terhadap hukum Eropa, baik secara sempurna maupun sebagian saja. Penundukan sempurna dipahami bahwa ketentuan hukum Eropa berlaku utuh bagi setiap subjek hukum yang melakukan suatu perbuatan hukum. Dengan kata lain, subjek hukum tersebut dianggap sama dengan golongan Eropa sehingga hukumnya juga hukum Eropa.
Berbeda halnya dengan jenis penundukan hukum yang disebutkan terakhir. Pada penundukan ini, hukum Eropa baru berlaku ketika perbuatan hukum yang dilakukan oleh golongan lain tersebut tidak dikenal dalam hukum mereka.
Pemberlakuan hukum adat bagi golongan Bumi Putera sudah tentu menimbulkan masalah. Masalah dimaksud mengingat bahwa adat yang terdapat di Indonesia sangat beraneka ragam sesuai dengan etnis, kondisi sosial budaya, maupun agamanya. Paling tidak, dengan adanya ketentuan tertulis seperti dijelaskan terdahulu menimbulkan bias negatif terhadap hukum agama yang dianut oleh bangsa Indonesia yang mayoritas Islam.
Dan diadakannya lembaga penundukan diri kepada hukum perdata Eropa ini, sedikit banyak untuk kepentingan orang-orang golongan Eropa sendiri. Sebab, seperti dinyatakan Mr. C. J. Scholten Van Oud-Haarlem, Ketua Hooggerechtshof yang ketika itu menjabat sebagai Ketua Lembaga Penundukan dalam notanya tahun 1840, bahwa penundukan sukarela akan memberi keamanan besar (grole veiliheid) dan keuntungan kepada orang Eropa, sebab kalau mereka membuat perjanjian atau perikatan dengan orang-orang yang tidak tergolong ke dalam orang Eropa, dengan memperlakukan hukum Eropa atas perjanjian yang dibuatnya itu.
Dengan demikian, kepentingan orang Eropa dapat diamankan karena hukum Eropa merupakan hukum tertulis yang akan lebih banyak memberikan kepastian hukum daripada hukum adat yang tidak tertulis.
Pemberlakuan Burgerlijk Wetboek dalam Perspektif UUD 1945
Setelah Indonesia merdeka, berdasarkan aturan peralihan UUD 45, maka Burgerlijk Wetboek Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan oleh undang-undang yang  baru. Berdasarkan undang-undang dasar ini, Burgerlijk Wetboek Hindia Belanda ini disebut Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia.
Yang dimaksud dengan Hukum Perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata barat (Belanda) yang menginduk pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang dalam bahasa aslinya disebut Burgerlijk Wetboek. Burgerlijk Wetboek ini berlaku di Hindia Belanda dulu. Sebagian materi Burgerlijk Wetboek ini sudah dicabut berlakunya dan diganti dengan undang-undang Republik Indonesia, misalnya mengenai perkawinan dan hak-hak kebendaan.
Lalu, bagaimana keadaan pasal 131 dan pasal 163 Indische Staatsblad serta keadaan yang berlaku sebelum 17 agustus 1945, setelah Indonesia merdeka? Pasal 131 dan pasal 163 Indische Staatsblad dengan segala konsekwensinya atau Indische Staatsblad sebagai kodifikasi hukum pokok ketatanegaraan sudah tidak berlaku lagi. Isi Indische Staatsblad satu persatu dinilai apakah masih sesuai atau tidak dengan semangat dan suasana kemerdekaan.
Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945 menjadi dasar hukum berlakunya KUH Perdata atau Burgerlijk Wetboek (sebagai warisan kolonial Belanda) di Indonesia hingga saat ini. Dengan demikian, dapat dicegah kekosongan hukum (rechtsvacuum) khususnya yang mengatur lapangan keperdataan. Dengan menyadari kondisi atau kemampuan yang ada pada pemerintah sendiri, serta kelemahan yang ada pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek ternyata banyak yang tidak cocok lagi untuk diterapkan, serta samabil menunggu kodifikasi baru sebagai pengganti KUH Perdata atau Burgerlijk Wetboek, maka tepatlah kiranya langkah-langkah yang ditempuh pemerintah yaitu membenarkan penerapan KUH Perdata atau Burgerlijk Wetboek di Indonesia.
Secara yuridis formal KUH Perdata atau Burgerlijk Wetboek tetap berkedudukan sebagai undang-undang, sebab ia tidak pernah dicabut dari kedudukannya sebagai undang-undang. Tetapi untuk kondisi sekarang ia tidak lagi sebagai KUH Perdata atau Burgerlijk Wetboek yang bulat dan utuh seperti keadaan semua saat dikodifikasikan.
Apakah Penggolongan Penduduk Sesuai dengan UUD 1945?
Alasan yang melatar belakangi Pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu mengadakan pembagian golongan penduduk adalah alasan politis,historis dan alasan yuridis. Setelah Indonesia merdeka, Indonesia tidak menganut Azas Konkordansi (Concordantie Beginselen) lagi. Azas Konkordansi berlaku juga untuk negara jajahan Belanda pada waktu itu seperti Indonesia, Suriname dan Antilen. Maka sejak Indonesia merdeka Azas Konkordansi tersebut tidak berlaku lagi bagi Indonesia.
Penghapusan perbedaan golongan penduduk secara tegas diatur dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar tahun 1945 yang menentukan bahwa:
“Setiap warga negara bersamaan dalam kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Selain pasal di atas,Undang-Undang Dasar 45 hasil Amandemen yaitu dalam Pasal 28 D ayat (1) juga menentukan bahwa:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hokum.”
Penghapusan penggolongan penduduk ini kemudian diatur lebih tegas lagi melalui Undang-undang Nomor 3 Tahun 1946 tentang Warga Negara dan Penduduk Negara yang kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1946 dan diubah lagi dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1947 tentang Memperpanjang Waktu Untuk Mengajukan Pernyataan Berhubung dengan Kewarganegaraan Indonesia, serta Undang-undang Nomor 11 Tahun 1948 tentang Memperpanjang Waktu Lagi Untuk Mengajukan Pernyataan Berhubungan dengan Kewarganegaraan Indonesia.
Berikutnya diregulasi dengan Undang-undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1976 tentang Perubahan Pasal 18 Undang-undang Nomor 62 Tahun 1958, dan akhirnya diganti
dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Dalam Pasal 2 jo Pasal 4 ditentukan bahwa Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan Undang-undang sebagai Warga Negara Indonesia. Ketentuan tentang definisi Warga Negara Indonesia juga dicantumkan pada Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 26 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Berdasarkan bunyi kedua Undang-undang di atas dapat dilihat bahwa tidak boleh lagi ada pembedaan golongan penduduk di Indonesia
ini.
Penundukan Diri dalam Perspektif UU Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama
Seperti diketahui bahwa lembaga penundukan diri pada dasarnya erat kaitannya dengan asas keberlakuan suatu hukum. Bagi seseorang yang memang tidak tunduk kepada suatu hukum tertentu dapat menundukkan diri pada hukum tersebut baik karena keinginan yang bersangkutan menghendaki atau karena hukum itu sendiri menghendaki demikian. Oleh karena itu di dalam terminologi hukum dikenal dua jenis penundukan diri yaitu;
1.      Penundukan diri secara sukarela atas dasar keinginan yang bersangkutan sendiri (Vrijwillige Onderwerping), dan
2.      Penundukan diri secara diam-diam karena perintah undang-undang atau disebut juga dengan istilah penundukan diri anggapan (Verorderstelde Onderwerping)
Atas dasar itu, walaupun dalam penjelasan pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tersebut terdapat kata “sukarela” tidak berarti yang dimaksudkan adalah penundukan diri secara sukarela (Vrijvillage Onderwerping). Kata tersebut erat kaitannya dengan kata sebelumnya yatu: “dengan sendirinya” sehingga yang dimaksudkan dalam penjelasan tersebut adalah “penundukan diri anggapan” hukum sendiri menghendaki demikian (Verorderstelde Onderwerping).
Dengan demikian dalam perkara sengketa pembagian warisan beda agama dimana sebagian ahli warisnya ada yang tidak beragama Islam maka Pengadilan Agama berwenang mengadili karena yang bersangkutan harus tunduk kepada hukum Islam karena menurut Undang-Undang tersebut ia dipandang dengan sendirinya menundukkan diri kepada hukum Islam.
Teori Stuffen dari Hans Kelsen
Teori Hukum Murni (The Pure Theory of Law) diperkenalkan oleh seorang filsuf dan ahli hukum terkemuka dari Austria yaitu Hans Kelsen (1881-1973). Kelsen lahir di Praha pada 11 Oktober 1881. Keluarganya yang merupakan kelas menengah Yahudi pindah ke Vienna. Pada 1906, Kelsen mendapatkan gelar doktornya pada bidang hukum.
Kelsen memulai karirnya sebagai seorang teoritisi hukum pada awal abad ke-20. Oleh Kelsen, filosofi hukum yang ada pada waktu itu dikatakan telah terkontaminasi oleh ideologi politik dan moralitas di satu sisi, dan telah mengalami reduksi karena ilmu pengetahuan di sisi yang lain. Kelsen menemukan bahwa dua pereduksi ini telah melemahkan hukum. Oleh karenanya, Kelsen mengusulkan sebuah bentuk kemurnian teori hukum yang berupaya untuk menjauhkan bentuk-bentuk reduksi atas hukum.
Stuffen Theory- Hans Kelsen (Teori Tangga)

Teori Hans Kelsen “bahwa tertib hukum (legal order) itu merupakan a system of norms yang berbentuk sperti tangga-tangga piramida. Pada tiap-tiap tangga terdapat kaidah-kaidah (norma), dan di puncak piramida terdapat kaidah yang disebut UUD, dibawah Uud terdapat kaidah yang disebut praturan; dibawah peraturan ada kaidah terletak pada kaidah yang ada diatasnya”. Menurut teori tangga Hans Kelsen (Stufen Theory):

General Norms (dibentuk oleh badan legislatif) Kaidah Dasar

UUD
Tertib Hukum UU
Individual Norms (dibentuk oleh badan eksekutif) Peraturan-Peraturan

Ketetapan Pemerintah


Teori tangga menggambarkan dasar berlakunya suatu kaidah terletak pada kaidah yang diatasnya. Menurut Kelsen: Legalitas Peraturan terletak pada UU, dan legalitas UU terletak pada UUD.
Norma adalah peraturan yang harus diikuti dan dilindungi oleh sanksi.
General norms adalah kaidah yang berlaku umum, mengikat umum, misal: kaidah dasar, UUD, UU dan Peraturan-peraturan. Adapun kaidah khusus: mengikat seseorang tertentu yang diketahui identitasnya. Individual norms berupa ketetapan-ketetapan atau keputusan-keputusan hakim baik yang berupa vonis maupun penetapan hakim.
Vonis adalah keputusan hakim yang menyelesaikan statu sengketa/perkara, sedangkan penetapan hakim adalah keputusan hakim yang menyelesaikan statu permohonan, misal: permohonan untuk diangkat menjadi wali atas anak dibawah umur (Belem dewasa, dibawah usia 21 tahun), atau permohonan untuk pengangkatan anak.
Contoh stuffen theory :
1. Pancasila
Sila ke 2 “kemanusiaan yang adil dan beradab
2. UUD 1945
Pasal Pasal 23 UUD yang berbunyi: "Pajak dan pungutan yang bersifat untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang",
3. Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan ketiga atas Undang-undang No mor 6 tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Kitab Undang-Undang Hukum Pajak)
4. Peraturan-Peraturan
.Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 161/PJ./2001 tanggal 21 Februari 2001 Tentang Jangka Waktu Pendaftaran Dan Pelaporan Kegiatan Usaha, Tata Cara Pendaftaran Dan Penghapusan Nomor pokok Wajib Pajak, Serta Pengukuhan Dan Pencabutan Pengukuhan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.

5. Ketetapan-Ketetapan (Bechikking)
NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak)


Pengenalan Hukum Pidana
Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara isinya menunjukan peristiwa pidana yang disertai dengan ancaman hukum atas pelanggaran.
Dalam arti bekerjanya, hukum pidana dibedakan:
1.      hukum pidana objektif (ius poenale) yang meliputi hukum pidana materiel (peraturan tentang syarat bilamanakah, siapakah, dan bagaimanakah sesuatu itu dapat dipidana), serta hukum pidana formil (hukum acara pidana: hukum yang mengatur tentang cara hukum pidana materiel dapat dilaksanakan).
2.      hukum pidana subjektif (ius puniendi) yaitu hukum yang memberikan kekuasaan untuk menetapkan ancaman pidana, menetapkan putusan, dan melaksanakan pidana yang hanya dibebankan kepada negara atau pejabat yang ditunjuk untuk itu.
Alasan Penghapuan Hukuman :
Alasan Pembenar:
Noodwer (Pembelaan Darurat)-Pasal 49 :1 KUHP
Alasan Pemaaf:
Pasal44 KUHP- orang gila
Pasal 45 KUHP- dibawah umur
Pendapat Prof Simon:
1.      hukum dalam arti objektif (Ius Sonale): Hukum Pidana yang berlaku dalam artipositif Semua peraturan yang mengandung keharusan atau larangan terhadap pelanggaran yang diancam dengan hukuman yang bersifat siksaan.
2.      Hukum pidana dalam arti subjektif (Ius Suniendi): Hak dari negara dan alat-alat kekuasaannya untuk menghukum, yaitu hak yang telah mereka peroleh dari peratura-peraturan yang telah ditentukan oleh hukum pidana dalam arti objektif.
Orang baru dapat berbicara mengenai hukum pidana dalam artisubjektif bila negara telahmenggunakan kekuasaannya untuk menjatuhkan hukuman berdasarkan peraturan-peraturan yang telah ditentukan terlebih dahulu.

Yang dikodifikasikan:
            KUHP
            KUHP Militer
Tidak dikodifikasikan:
            Peraturan pidana yang terdapat dalam UU atau peraturan-peraturan bersifat khusus.
Bagian Umum:
Memuat asas-asas umum pada dasarnya yang diatur dalam Buku I KUHP
Bagian Khusus:
Memuat masalah kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran baik yang dikodifikasikan maupun yang tidak.
Dua unsur yang harus dipenuhi untuk menentukan adanya suatu perbuatan pidana adalah:
  1. unsur obyektif, yaitu adanya suatu tindakan yang dilarang oleh hukum dengan ancaman pidananya.
  2. unsur subyektif, yaitu adanya perbuatan seseorang atau beberapa orang yang berakibat pada hal yang tidak dikehendaki oleh undang-undang.
Syarat yang harus dipenuhi (sebagai unsur obyektif dan subyektif yang dipersyaratkan) dalam suatu peristiwa pidana ialah:
  • Harus ada perbuatan orang atau beberapa orang. Perbuatan itu dapat dipahami orang lain sebagai sesuatu yang merupakan peristiwa;
  • Perbuatan itu harus bertentangan dengan hukum;
  • Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang disebutkan dalam ketentuan hukum;
  • Harus terbukti ada kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan;
  • Harus tersedia ancaman hukuman terhadap perbuatan yang dilakukan yang termuat dalam peraturan hukum yang berlaku.

Asas-Asas Hukum Pidana

Asas Legalitas (nullum delictum nula poena sine praevia lege poenali) Terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Tidak dapat dipidana seseorang kecuali atas perbuatan yang dirumuskan dalam suatu aturan perundang-undangan yang telah ada terlebih dahulu.
Dalam catatan sejarah asas ini dirumuskan oleh Anselm von Feuerbach dalam teori : “vom psychologishen zwang (paksaan psikologis)” dimana adagium : nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali yang mengandung tiga prinsip dasar :
  1. Nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa undang-undang)
  2. Nulla Poena sine crimine (tiada pidana tanpa perbuatan pidana)
  3. Nullum crimen sine poena legali (tiada perbuatan pidana tanpa undang-undang pidana yang terlebih dulu ada).
Pengenalan Hukum Islam
1.      Wajib
Dikerjakan mendapat pahala ditinggalkan berdosa.

2.      Sunat
Dikerjakan mendapat pahala di tinggalkan tidak berdosa.

3.      Makruh
Dikerjakan tidak apa-apa tidak dikerjakan berpahala.

4.      Mubah
Dikerjakan tidak berpahala.

5.      Haram
Dikerjakan berdosa, ditinggalkan berpahala.
Pengenalan Hukum Internasional
Hukum internasional terbagi menjadi dua, yaitu: hukum internasional publik dan hukum perdata internasional. Hukum internasional publik adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara, yang bukan bersifat perdata.
Sedangkan hukum perdata internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas negara, dengan perkataan lain, hukum yang mengatur hubungan hukum perdata antara para pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum perdata yang berbeda. (Kusumaatmadja, 1999; 1)
Sumber-Sumber Hukum Internasional
Pada azasnya, sumber hukum terbagi menjadi dua, yaitu: sumber hukum dalam arti materiil dan sumber hukum dalam arti formal. Sumber hukum dalam arti materiil adalah sumber hukum yang membahas materi dasar yang menjadi substansi dari pembuatan hukum itu sendiri.
Sumber hukum dalam arti formal adalah sumber hukum yang membahas bentuk atau wujud nyata dari hukum itu sendiri. Dalam bentuk atau wujud apa sajakah hukum itu tampak dan berlaku. Dalam bentuk atau wujud inilah dapat ditemukan hukum yang mengatur suatu masalah tertentu.
Sumber hukum internasional dapat diartikan sebagai:
1. dasar kekuatan mengikatnya hukum internasional;
2. metode penciptaan hukum internasional;
3. tempat diketemukannya ketentuan-ketentuan hukum internasional yang dapat diterapkan pada suatu persoalan konkrit.
Subyek Hukum Internasional
1.       Negara
2.       Organisasi Internasional
3.       Palang Merah Internasional
4.       Tahta Suci Vatikan
5.       Kaum Pemberontak / Beligerensi (belligerent)
6.       Individu
7.       Perusahaan Multinasional
KompetensiAbsolut dan Kompetensi Relefan



Pengenalan Hukum Perdata
Pengertian
Hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antar perorangan di dalam masyarakat. Hukum perdata dalam arti luas meliputi semua hukum privat materil dan dapat juga dikatakan sebagai lawan dari hukum pidana.
Pengeertian hukum privat (hukum perdana materil) adalah hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur hubungan antar perorangan didalam masyarakat dalam kepentingan dari masing-masing orang yang bersangkutan.
Selain ada hukum privat materil, ada juga hukum perdata formil yang lebih dikenal dengan HAP (hukum acara perdata) atau proses perdata yang artinya hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur bagaimana caranya melaksanakan praktek di lingkungan pengadilan perdata.
Sejarah Hukum Perdata Indonesia
Di eropa continental berlaku hukum perdata romawi, disamping adanya hukum tertulis dan hukum kebiasaan tertentu.
Pada tahun 1804 atas prakarsa Napoleon terhimpunlah hukum perdata dalam satu kumpulan peraturan yang bernama “ Code Civil de Francis” yang juga dapat disebut “Cod Napoleon”.
Sebagai petunjuk penyusunan Code Civil ini digunakan karangan dari beberapa ahli hukum antara lain Dumoulin, Domat dan Pothis. Disamping itu juga dipergunakan hukum bumi putera lama, hukum jernoia dan hukum Cononiek. Code Napoleon ditetapkan sebagai sumber hukum di belanda setelah bebas dari penjajahan prancis.
Setelah beberapa tahun kemerdekaan, bangsa memikirkan dan mengerjakan kodifikasi dari hukum perdata. Dan tepatnya 5 juli 1830 kodivikasi ini selesai dengan terbentuknya BW (Burgelijk Wetboek) dn WVK (Wetboek Van Koopandle) ini adalah produk nasional-nederland yang isinya berasal dari Code Civil des Prancis dari Code de Commerce.
Sistematika Hukum Perdata
Sistematika hukum di Indonesia ada dua pendapat, yaitu :
a. Dari pemberlaku undang-undang
Buku I : Berisi mengenai orang
Buku II : Berisi tentanng hal benda
Buku III : Berisi tentang hal perikatan
Buku IV : Berisi tentang pembuktian dan kadaluarsa
b. Menurut ilmu hukum / doktrin dibagi menjadi 4 bagian yaitu :
I. Hukum tentang diri seseorang (pribadi)
Mengatur tentang manusia sebagai subjek hukum, mengatur tentang perihal kecakapan untuk bertindak sendiri.
II. Hukum kekeluargaan
Mengatur perihal hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan yaitu perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami istri, hubungna antara orang tua dengan anak, perwalian dan lain-lain.
III. Hukum kekayaan
Mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang dapat diukur dengan dengan uang, hak mutlak yang memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat dinamakan hak kebendaan yang antara lain :
- hak seseorang pengarang atau karangannya
- hak seseorang atas suatu pendapat dalam lapangan ilmu pengetahuan atau hak pedagang untuk memakai sebuah merk, dinamakan hak mutlak.
IV. Hukum warisan
Mengatur tentang benda atau kekayaan seseorang jika ia meninggal dunia. Disamping itu, hukum warisan juga mengatur akibat-akibat dari hubungan keluarga terhadap harta peninggalan seseorang.
Pengenalan Hukum Pidana




Pengenlan Hukum Acara
            Hukum acara adalah rangkaian keadaan hukum yang mengatur tata cara yang harus ditempuh untuk mengajukan suatu perkara ke muka badan peradiln, serta cara-cara hakim memberikan putusan, atau suatu rangkaian peraturan hukum yang mengatur tentang cara-cara memelihara dan mempertahankan hukum materil.
Hukum acara perdata adalah rangkaian peraturan yang mengatur bagaimana cara yang menjamin ditaatinya hukum perdata materil dengan perantaraan hakim atau cara mengajukan tuntutan hak yang bertujuan memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadian untuk mencegah supaya jangan main hakim sendiri.
Sumber hkum acara perdata bersumber pada tiga kodifikasi yaitu:
-          Reglement Hukum Acara Perdata
-          Reglement Indonesia yang diperbaharui (RIB)dan HIR yan sekarang diganti oleh KUHAPer.
-          Reglement Buitengewestern  
Hukum acara pidana adalah keseluruhan peraturan huku yang mengatur bagaimana caranya alat-alat penegak hukum meaksanakan dan mempertahankan hukum pidana.
Asas-Asas Hukum Acara Pidana:
-          Asas/ Prinsip Legalitas
-          Perlakuan yang sama atas diri setiap orang didepan hukum
-          Asas praduga tidak bersalah
-          Asas peradilan cepat
-          Tersangka berhak memperoleh bantuan hukum
-          Peradilan dilakukan secara objektif.
Pengenalan HTN dan HAN
Istilah HTN :
Staatsrech in engere zin (di Belanda)
Contitusional Law (di Inggris)
Droit Constitutionnel (di Prancis)
Verfassungsrecht (di Jerman)
Definisi HTN
Hukum Tata Negara adalah sekumpulan peraturan yang mengatur organisasi negara, hubungan antara alat perlengkapan negara dalam garis vertikal dan horizontal sertakedudukan warga negara dan hak-hak asasinya.
Asas-asas HTN:
  1. Asas Ketuhanan Yang Maha Esa
  2. Negara Hukum dan “The Rule of Law”.
  3. Asas Kedaulatan Rakyat dan Demokrasi.
  4. Demokrasi Langsung dan Demokrasi Perwakilan.
  5. Pemisahan Kekuasaan dan “Check and Balances”
  6. Sistem Pemerintahan Presidentiil
Bentuk Negara:
1.      Negara Kesatuan : adalah bentuk negara yang wewenang legislatif tertinggi dipusatkan dalam satu badan legislatif.
2.      Negara Federal : adalah suatu negara yang terdiri dari beberapa negara bagian , tetapi setiap negara tidak berdaulat.
3.      Gabungan Negara : bentuk negara gabungan antara dua atau beberapa negara merdeka dan berdaulat penuh dengan presiden atau parlemen yang sama.
Bentuk Pemerintahan:
1.      Monarki yakni pemerintahan terletak ditangan satu orang
2.      Oligarki yakni bentuk pemerintahan yang kekuasaan negara terletak ditanagn sejumlah orang yang memerintah.
Istilah Hukum Administrasi Negara :
-          Constitutional Law ( di Inggris)
-          Droit Administratif (di Prancis)
-          Verwaltungs recht (di Jerman )
-          Administratief recht (di Belanda)
Definisi Hukum Administrasi Negara:
Aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan antara alat perlengkapan negara atau pemerintah dengaaan warganya.
Alasan menggunakan Istilah Hukum Administrasi Negara
a.       administrasi yang berasal dari kata “administer” yang artinya mengurus, mengelola, jadi yang menyangkut semua tentang administrasi dan masuk didalam ruang lingkup HAN.
b.      Menolak istilah hukum tata usaha negara oleh karena terkesan bahwa
seolah-olah materi dan ilmu penetahuan tersebut hanya menyangkut masalah ketatausahaan saja
Sumber-Sumber Hukum Administrasi Negara:
1.      a. Sumber hukum dalam arti Formil
yaitu, bentuk-bentuk peraturan yang dibuat oleh badan-badan yang berwenang melalui prosedur tertentu berdasarkan perundang-undangan. berdasarkan asal kata/ secara etimologis kata undang-undang itu berasal dari nama kepala adat.

b.Sumber hukum dalam arti Materiil
yaitu, fakta-fakta baik merupakan kesadaran hukum / perasaan hukum yang menetapkan isi dari suatu kaidah sesuatu yang dipamdang patut, adil, baik, yang memberikan warna dalam kehidupan masyarakat.
2.       a. Sumber hukum Kenbron
yaitu, menunjuk pada suat jenis atau bentuk dari suatu peraturan perundang-undangan. misalnya dalam bentuk Peraturan Presiden, Instruksi Menteri., Peraturan pemerintah.
 b. Sumber hukum Rechtbro
 yaitu menjawab pertanyaan badan mana yang berwenang untuk menetapkan suatu perundang-undangan. misalnya yaitu: suatu keputusan asalnya dibuat oleh badan mana karena hal ini menyangkut alat-alat perlengkapan negara.
Asas-asas Hukum Administrasi Negara
  1. Asas yuridikitas (rechtmatingheid): setiap tindakan pejabat administrasi negara tidak boleh melanggar hukum (harus sesuai dengan rasa keadilan dan kepatutan).
  2. Asas legalitas (wetmatingheid): setiap tindakan pejabat administrasi negara harus ada dasar hukumnya (ada peraturan dasar yang melandasinya
  3. Asas diskresi yaitu kebebasan dari seorang pejabat administrasi negara untuk mengambil keputusan berdasarkan pendapatnya sendiri tetapi tidak bertentangan dengan legalitas.
Persamaan dan Perbedaan HAN dan HTN


Peradilan TUN berdasarkan:
-          UU No 5 Tahun 1986 dinyatakan tidak berlaku.
-          UU No 9 Tahun 2004 dinyatakan tidak berlaku.
-          UU No 51 Tahun 2009 masih berlaku.
Pengenalan Hukum Dagang
Sejarah
Perkembangan hukum dagang telah dimulai sejak sejak abad pertengahan Eropa, dikarenakan hokum Romawi (corpus lurus civilis ) tidak dapat menyelsaikan perkara-perkara dalam perdagangan , maka dibuatlah hukum baru di samping hokum Romawi yang berdiri sendiri pada abad ke-16 & ke- 17 dan hukum perdagangan ini bersifat unifikasi.
Selain itu dikarenaknan bertambah pesatnya hubungan dagang, maka pada abad ke-17 diadakan kodifikasi dalam hokum dagang oleh mentri keuangan dari raja Louis XIV (1613-1715) yaitu Corbert dengan peraturan (ORDONNANCE DU COMMERCE) 1673. Dan pada tahun 1681 disusun ORDONNANCE DE LA MARINE yang mengatur tenteng kedaulatan. Dan pada tahun 1807 di Perancis di buat hokum dagang tersendiri dari hokum sipil yang ada yaitu (CODE DE COMMERCE ) yang tersusun dari ordonnance du commerce (1673) dan ordonnance du la marine(1838) . Pada saat itu Nederlands menginginkan adanya hokum dagang tersendiri yaitu KUHD belanda , dan pada tahun 1819 drencanakan dalam KUHD ini ada 3 kitab dan tidak mengenal peradilan khusus . lalu pada tahun 1838 akhirnya di sahkan . KUHD Belanda berdasarkan azas konkordansi KUHD belanda 1838 menjadi contoh bagi pemmbuatan KUHD di Indonesia pada tahun 1848 . dan pada akhir abad ke-19 Prof. Molengraaff merancang UU kepailitan sebagai buku III di KUHD Nederlands menjadi UU yang berdiri sendiri (1893 berlaku 1896).Dan sampai sekarang KUHD Indonesia memiliki 2 kitab yaitu , tentang dagang umumnya dan tentang hak-hak dan kewajiban yang tertib dari pelayaran.
Pengertian
Hukum yang mengatur hubungan hukum antara manusia dan badan-badan hokum satu sama lainnya dalam lapangan perdagangan . system hokum dagang menurut arti luas adalah hokum dibagi 2 yaitu yang tertulis dan tidak tertulis tentang aturan perdagangan.
Sumber-Sumber Hukum Dagang
Hukum dagang diatur dalam 6 sumber, yaitu:
  1. KUHD sebagai koifikasi
  2. KItab undang-undang hukum perdata (KUHS)
Adapun sistematika KUHD adalah :
  1. Buku kesatuan tentang dagang umumnya:
BAB I              : Dihapuskan (pasal 2-5).
BAB II             : Tentang pemegangan buku.
BAB III           : Tentang beberapa jenis perseroan.
BAB IV           : Tentang bursa dagang, makelar, dan kasir.
BAB V            : Tentang komisioner, ekspeditur, pengangkutan, juragan, perahu yang melalui sungai dan perairan darat.
BAB VI           : Tentang wesel dan surat onder.
BAB VII          : Tentang cek, promes, kwitansi kepada pembawa.
BAB VIII         : Tentang reklame
BAB IX           : Tentang asuransi/ pertanggungan seumumnya.
BAB X            : Tentang pertanggungan terhadap bahaya kebakara, terhadap bahaya yang mengancam hasil-hasil pertanian yang belumdipenuhi dan tentang pertanggungan jiwa.
  1. Buku kedua tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang terbelit dari pelayaran.
BAB I              : Tentang kapal laut dan muatanya.
BAB II             : Tentang penusaha kapal dan perusahaan-perusahaan perkapalan.
BAB III           : Nahkoda, anak kapal dan penumpang.
BAB IV           : Perjanjian kerja laut.
BAB V            : Tentang percetakan kapal.
BAB VI           : Penubrukan.
BAB VII          : Pencahayaan kapal, Pendamparan dan diketemukannya barang di laut
BAB VIII         : Dihapusnya (pasal 569-591)
BAB IX           : Pertanggungan terhadap segala bahaya di laut dan pembudakan.
BAB X            : Pertanggungan terhadap bahaya dalam pengangkutan di daratan, di sungai dan pesisir daratan.
BAB XI           : Kerudian laut
BAB XII          : Berahirnya perikatan dalam perdagangan laut.
BAB XIII         : Perahu melalui sungai sungai dan perairan darat.
Pembentukan undnag-undang hukum ada perubahan yang dimuat dalam Stb. 1938-276 yang berlaku 17 juli 1938.
  1. Penghapusan pasal 2 sampai 5 BAB I buku I KUHD
  2. Memasukan istilah perusahaan dalam hukum dagang, dintara mana yang tercantum dalam pasal 6, 16, 36 dan lain-lain.
Sistematika Hukum Dagang
Yang tertulis terdiri dari:
1.      Terkodifikasi : KUHD, KUHPerdata, dan KUHD terdiri dari 2 kitab yaitu
-           tentang dagang umumnya (10 Bab)
-          tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang tertib dalam pelayaran (13 Bab)
2.      Tidak Terkodifikasi
-          Peraturan tentang koperasi.
-          Tentang perusahaan negara
-          UU no. 14 thn. 1965 tentqng koperasi
Hubungan KUHD dengan KUH Perdata
Dengan dikatakan oleh Prof sudirman kartohadiprojo dimana KHUD merupakan suatu Lex sepecialis dari KUHS sebagai Lex generalis . Andai kata dalam KUHD dan KUHS terdapat peraturan yang sama maka peraturan dalam KUHD yang berlaku . seperti telah di tentukan pada pasal I KUHD .
Hukum dagang merupakan perluasan dari hokum perdata, maka KUHPerdata merupakan hukum perdata umum, sedangkan KUHD (WKU) merupakan perdata khusus.
Jadi hubungan ini berlaku adagium (reuhtsspusrk, asas mengenai hukum yang terkandung dalam kalimat pendek, berisi padat). “ Lex specialis derogratex Generalis” artinya bahwa ketentuan atau hukum yang khusus dapat menyimpang ketentuan yang umum, ketentuan yang umum (hukum khusus menghapus hakim umum).
Hal ini tercantum dalam pasal 1 KUHD yang berbunyi bahwa:
“Kitab undang undang hukum perdata (KUHS) dapat juga dipergunakan dalam hal-hal yang diatur dalam kitab undang-undang hukum dagang (KUHD), sepanjang KUHD itu tidak mengaturnya secara khusus.

1 komentar:

  1. lumaya.hehehe...
    percantik lagi yach blog nya....
    jangan lupa mampir di blog aku,hehehe
    sakahayank.blogspot.com
    santrisukahideng.blogspot.com
    danz-analyst.blogspot.com

    BalasHapus