Aku bukan
orang yang selamanya baik, bukan orang yang bertahan dipandang rendah. Aku bisa
marah kapan saja aku mau… Tapi bukan untuk sekarang. Nanti,,, jangan harap muka
mu masih berbentuk, mungkin lebam untuk waktu yang lama, mungkin tulangmu patah,
atau mungkin kulit yang melepuh.
Selasa, 20 Maret 2012
Minggu, 18 Maret 2012
Selalu indah menatap hujan…
Aku merasakan semua yang berlalu begitu cepat… Dan hujan
selalu membawa aku kembali mengenang saat-saat itu, meskipun hanya sepenggal
kisah sederhana seorang anak kampung. Ini terlalu indah untuk aku simpan
sendiri.
Meskipun aku tinggal jauh dari keramaian kota tapi aku cukup
bahagia dengan kehidupan ku yang seperti ini. Jauh dari kebisingan dengan udara
segar dan pemandangan yang masih akrab dengan keindahan. Keluargaku bukanlah
keluarga yang hidup bermewah, ayahku hanya seorang pensiunan dan ibuku adalah
seorang pekerja keras, selain membantu ayah diladang ibu juga menjahit pakaian
dan membuka warung kecil-kecilan di depan rumah . Tak ada barang yang berharga
dirumah kami, benar-benar rumah
sederhana berdinding bilik kayu yang memilki celah cukup banyak di bagian-bagiannya,
selain itu kami hanya memiliki tanah warisan almarhum kakek yang cukup luas,
walaupun hasil ladangnya tidak selalu melimpahAku adalah anak ke 6 dari 7 bersaudara,dua kakak ku
perempuan yang pertama dan yang kedua, selain itu anak laki-laki. Nama yang
ayah berikan padaku memang lebih keren daripada nama saudara-saudaraku yang
lain. Ibu pernah bercerita bahwa nama yang ayah berikan padaku adalah nama
seorang pahlawan yang melawan pemberontakan yang terjadi bertepatan dengan hari kelahiranku.
Aku bersekolah di
madrasah ibtidaiyah, satu-satunya sekolah dasar yang ada di sekitar kampung,
meskipun jaraknya cukup jauh tapi tidak lebih jauh dari sekolah dasar negeri
yang jaraknya sekitar 3 kilometer lagi dari sekolahku. Seperti biasa aku dan
teman – teman ku selalu berangkat ke sekolah bersama-sama, kami menelusuri
jalanan yang berbatu, hanya beralas sendal jepit dan menyampkingan sebuah
plastik bekas bungkus pakaian baru ayah yang telah aku sambungkan dengan seutas
tali rapia. Didalamnya ada sebuah pensil yang hanya sepanjang jari telunjuk,
dan buku yang sudah lecek karena aku selalu menuliskan semua pelajaran ke dalam
buku tersebut.
Sepulang sekolah, aku lantas membantu ibu di warung.
Meskipun lapar, aku tak diperbolehkan makan sebelum saudaraku yang lain
berkumpul. Makan siang nasi dan lauk seadanya dengan porsi yang ibu bagi ke
piring kami. Mungkin ibu dan ayah tak makan saat itu, ia bilang masih kenyang ,
sudah makan atau nanti saja, karena memang persediaan makanan keluarga kami
sangat terbatas untuk dibagi sembilan perut lapar. Makan nasi jika awal-awal
panen saja atau selama persedian masih ada. Jika panen sedang buruk persediaan
tidak cukup untuk menutupi kebutuhan sampai panen selanjutnya, selebihnya hanya
ada jagung atau ubi jalar.
Iniiiiii… cerita ayahhh….
Jumat, 16 Maret 2012
Butiran Debu
namaku cinta ketika kita bersama
berbagi rasa untuk selamanya
namaku cinta ketika kita bersama
berbagi rasa sepanjang usia
hingga tiba saatnya aku pun melihat
cintaku yang khianat, cintaku berkhianat
berbagi rasa untuk selamanya
namaku cinta ketika kita bersama
berbagi rasa sepanjang usia
hingga tiba saatnya aku pun melihat
cintaku yang khianat, cintaku berkhianat
aku terjatuh dan tak bisa bangkit lagi
aku tenggelam dalam lautan luka dalam
aku tersesat dan tak tahu arah jalan pulang
aku tanpamu butiran debu
aku tenggelam dalam lautan luka dalam
aku tersesat dan tak tahu arah jalan pulang
aku tanpamu butiran debu
hingga tiba saatnya aku pun melihat
cintaku yang khianat, cintaku berkhianat menepi menepilah menjauh
semua yang terjadi di antara kita
---Rumor----
cintaku yang khianat, cintaku berkhianat menepi menepilah menjauh
semua yang terjadi di antara kita
---Rumor----
Langganan:
Postingan (Atom)